Definisi Qurban
Qurban berasal dari kata qarraba
– yuqarribu – qurbaanan, yang berarti mendekatkan diri kepada Allah SWT. Tetapi
dalam perkembangan selanjutnya diartikan sebagai peribadatan dalam bentuk
sembelihan binatang qurban dengan binatang yang sudah
ditentukan.
Dalam aspek hukum, ibadah qurban
bisa dibedakan menjadi ada yang bersifat wajib, dan ada yang bersifat sunnah.
Yang pertama disebut “hadyu” yang pelaksanaannya dibebankan untuk dilaksanakan
bagi mereka yang melaksanakan ibadah haji tamattu’ dan qiran. Sementara bagi
yang tidak melaksanakan ibadah haji bersifat sunnah yang disebut dengan udhhiyyah (penyembelihan).
Sejarah Singkat Qurban
Sejarah qurban pada dasarnya berawal dari kisah Qabil dan
Habil pada masa Nabi Adam a.s. (lihat Q.S. al-Maidah [5]: 27!). Kemudian
dipertegas pada peristiwa “qurban” Ibrahim dan Ismail a.s.. ash-Shafat [37]:
102!). dan, dipatenskan menjadi sebuah syariat yang mesti dijalakan oleh umat
Islam yang mampu saat ini pada era kenabian Rasulullah, Muhammad saw..
Namun demikian, ibadah qurban
yang kita laksanakan adalah berdasarkan millah Nabi Ibrahim.
Yaitu ketika Nabi Ibrahim diuji oleh Allah swt. Untuk menyembelih anaknya yang
kemudian oleh Allah diganti dengan sembelihan kambing. Jadi, ibadah qurban
berawal dari millah Nabi Ibrahim yang kemudian diperbaharui dan disempurnakan
oleh syari’at Nabi Muhammad saw..
Tata Cara Qurban
Ibadah qurban yang kita
laksanakan, seyogyanya berupaya untuk sesuai dengan apa yang disunnahkan oleh
Rasulullah saw. Oleh karena itu, agar ibadah qurban kita diterima oleh Allah
swt, harus diperhatikan beberapa hal sebagai tata cara qurban, yaitu:
1. Waktu penyembelihan harus dilaksanakan setelah kita
melaksanakan shalat ‘Id, berbeda dengan zakat fitrah yang harus dibagikan
sebelum pelaksanaan shalat ‘Id. Pernah terjadi dalam sejarah, seorang sahabat
yang bernama Abu Burdah menyembelih binatang qurban sebelum shalat ‘Id,
kemudian Nabi menghukumi daging sembelihannya dengan daging biasa saja bukan
daging qurban.
2. Binatang yang akan disembelih haruslah tidak cacat
dan yang gemuk, tapi bukan yang tebal bulunya. Karena ada sebagian masyarakat
kita yang mensyarah secara harfiyah sebuah hadits yang mengisahkan ketika ada
yang bertanya kepada Nabi tentang “untuk qurban itu?” Kemudian nabi menjawab,
“Ini adalah dari millah Ibrahim”. Kemudian sahabat bertanya lagi, “Kami
mendapatkan apa dari Qurban?”. Nabi menjawab, “Dari setiap bulu kambing itu ada
satu kebaikan”. Hadits ini dipahami bahwa binatang qurban harus banyak bulunya,
padahal tidak demikian. Ditambah lagi kalau kita perhatikan dalam sejarah Nabi
Ibrahim bahwa binatang sembelihan yang menjadi ganti Nabi Ismail disebut dengan
kata dzibhin ‘azhiim (sembelihan yang gemuk).
3. Mustahiq qurban haruslah diprioritaskan fakir
miskin, berbeda dengan pembagian zakat yang menggunakan 8 ashnaf. Bahkan amilin
pun tidak mendapat bagian karena Rasulullah pernah melarang untuk memberi upah bagi siapa yang menyembelih binatang qurban.
Walaupun di daerah kita selalu saja daging qurban dibagikan secara rata, dan
ini pun pernah terjadi pada zaman Rasulullah. Sampai Khalifah Umar pun kebagian
daging qurban, tetapi beliau marah ketika menerimanya, lalu Nabi bersabda,
“Terima saja, setelah itu terserah kamu untuk diberikan lagi kepada fakir
miskin”. Dari sini setidaknya dapat diambil sebuah pesan bahwa setiap ‘Idul
Adhha semua orang dituntut untuk berkurban. Sampai kalau kita buka kitab-kitab
fikih akan kita dapati sebuah kisah untuk menampakkan spirit pengorbanan
sampai-sampai mereka (sahabat yang miskin) menyembelih seekor ayam lalu
dibagikan kepada yang lebih miskin dari mereka, jelas ini bukan sembelihan
qurban tetapi kita lihat spirit pengorbanannya.
4. Mensedekahkan seluruh bagian dari hasil sembelihan.
Sebagaimana Nabi pernah memerintahkan kepada Sayyidina Ali untuk
membagi-bagikan daging, kulit, sampai aksesoris untuk bisa dibagikan,
disedekahkan dan dinikmati.
Jika tidak memperhatikan hal-hal
di atas, maka dikhawatirkan sembelihan tersebut akan jatuh kepada
daging/sembelihan biasa, bukan qurban.
Hikmah disyari’atkannya ibadah
qurban bisa dilihat dari tiga aspek, yaitu:
Pertama, aspek ketaatan kepada
syari’at (ajaran).
Kedua, aspek pengorbanan
sebagaimana yang telah dicontohkan oleh Nabi Ibrahim ketika diperintahkan untuk
menyembelih anaknya sendiri.
Ketiga, aspek sosial dilihat dari
prioritas pembagian daging qurban, yaitu kepada para faqir miskin.
Kalau melihat kondisi masyarakat
sekarang, makin banyak saudara kita yang tergolong masyarakat miskin dan masih
memerlukan bantuan kita. Ketika pendistribusian daging qurban dibagikan ke
daerah-daerah miskin atau terpencil, hal tersebut akan mempunyai nilai (pahala)
lebih dari ibadah qurban yang kita laksanakan. Setidaknya akan mengikis sifat
riya, ingin dilihat bahwa saya berkurban. Apalagi ketika dilihat dari
nilai-nilai ukhuwah, ketika dibagikan ke daerah-daerah terpencil maka prinsip
kaljasadil waahid (bagaikan satu tubuh) akan tercipta. Dengan kata lain saudara
kita di sana akan merasa diperhatikan oleh saudaranya sesame muslim yang
memiliki kelebihan harta. Jadi sudah saatnya kita mengubah tata cara penyembelihan
yang selalu terpusat di perkotaan yang notabene selalu terjadi penumpukan
daging qurban, kepada distribusi qurban ke pelosok-pelosok daerah
yang miskin dan terpencil.
Kita juga hendaknya meneladani
Nabi Ibrahim sebagai “Insan Qurban”. Sebagaimana kita lihat dari mulai kisah
pengorbanan diri untuk dibakar, pengorbanan beliau ketika berda’wah yang
dilandasi kesabaran, punya anak harus disembelih, dan banyak hal lainnya lagi
yang setidaknya harus menjadi spirit pengorbanan bagi kepentingan agama ataupun
umat.
Dalil-dalil
Disyariatkannya Ibadah Qurban
Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,
فَصَلِّ
لِرَبِّكَ وَانْحَرْ
“Maka dirikanlah
shalat karena Rabb-mu, dan berqurbanlah.” [Al-Kautsar: 2]
Allah Subhânahû wa Ta’âlâ berfirman,
قُلْ
إِنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ.
لَا شَرِيكَ لَهُ وَبِذَلِكَ أُمِرْتُ وَأَنَا أَوَّلُ الْمُسْلِمِينَ
“Katakanlah,
‘Sesungguhnya shalatku, sembelihanku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk Allah,
Rabb semesta alam. Tiada sekutu bagi-Nya. Demikian itulah yang diperintahkan
kepadaku dan saya adalah orang yang pertama-tama berserah diri (kepada
Allah).’.” [Al-An’âm: 162-163]
Allah Subhânahû wa Ta’âlâ menjelaskan pula bahwa
berqurban adalah perkara yang disyariatkan pada seluruh agama sebagaimana dalam
firman-Nya ‘Azza wa Jalla,
وَلِكُلِّ
أُمَّةٍ جَعَلْنَا مَنْسَكًا لِيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ عَلَى مَا رَزَقَهُمْ
مِنْ بَهِيمَةِ الْأَنْعَامِ فَإِلَهُكُمْ إِلَهٌ وَاحِدٌ فَلَهُ أَسْلِمُوا
“Dan bagi tiap-tiap
umat, telah Kami syariatkan penyembelihan (qurban) supaya mereka menyebut nama
Allah terhadap binatang ternak yang telah (Allah) rezekikan kepada mereka. Maka
Rabb kalian ialah Rabb yang Maha Esa. Oleh karena itu, berserahdirilah kalian
kepada-Nya.” [Al-Hajj: 34]
Allah ‘Azza wa Jalla juga menjelaskan bahwa
ibadah agung ini adalah salah satu simbol syariat-Nya sebagaimana dalam
firman-Nya,
وَالْبُدْنَ
جَعَلْنَاهَا لَكُمْ مِنْ شَعَائِرِ اللَّهِ لَكُمْ فِيهَا خَيْرٌ فَاذْكُرُوا
اسْمَ اللَّهِ عَلَيْهَا صَوَافَّ فَإِذَا وَجَبَتْ جُنُوبُهَا فَكُلُوا مِنْهَا
وَأَطْعِمُوا الْقَانِعَ وَالْمُعْتَرَّ كَذَلِكَ سَخَّرْنَاهَا لَكُمْ
لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ. لَنْ يَنَالَ اللَّهَ لُحُومُهَا وَلَا دِمَاؤُهَا
وَلَكِنْ يَنَالُهُ التَّقْوَى مِنْكُمْ كَذَلِكَ سَخَّرَهَا لَكُمْ لِتُكَبِّرُوا
اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَبَشِّرِ الْمُحْسِنِينَ
“Dan telah Kami
jadikan unta-unta itu untuk kalian sebagai bagian dari syiar Allah, yang kalian
memperoleh kebaikan yang banyak padanya, maka sebutlah oleh kalian nama Allah
ketika kalian menyembelihnya dalam keadaan berdiri (dan telah terikat).
Kemudian, apabila (unta-unta itu) telah roboh (mati), makanlah sebagiannya
serta beri makanlah orang yang rela dengan sesuatu yang ada padanya (yang tidak
meminta-minta) dan orang yang meminta. Demikianlah Kami telah menundukkan unta-unta
itu untuk kalian, mudah-mudahan kalian bersyukur. Daging-daging unta dan
darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi
ketakwaan dari kalianlah yang dapat mencapainya. Demikianlah Allah telah
menundukkannya untuk kalian supaya kalian mengagungkan Allah terhadap
hidayah-Nya kepada kalian. Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang
berbuat baik.” [Al-Hajj: 36-37]
Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam
mensyariatkan ibadah qurban melalui ucapan, perbuatan, serta penetapan beliau.
Syariat berdasarkan ucapan beliau tersirat dari
sabda beliau shallallâhu ‘alaihi wa sallam,
مَنْ
ذَبَحَ قَبْلَ الصَّلاَةِ فَإِنَّمَا ذَبَحَ لِنَفْسِهِ ، وَمَنْ ذَبَحَ بَعْدَ
الصَّلاَةِ فَقَدْ تَمَّ نُسُكُهُ ، وَأَصَابَ سُنَّةَ الْمُسْلِمِينَ
“Siapa yang
menyembelih sebelum shalat, sembelihannya hanyalah untuk dirinya sendiri. Dan
barangsiapa yang menyembelih setelah pelaksanaan shalat (‘Id), nusuk-nya
(sembelihannya) telah sempurna dan ia telah mencocoki sunnah kaum muslimin.” [1]
Syariat berdasarkan perbuatan beliau terurai
dari penuturan Anas bin Malik radhiyallâhu ‘anhu,
ضَحَّى النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ بِكَبْشَيْنِ أَمْلَحَيْنِ أَقْرَنَيْنِ ذَبَحَهُمَا بِيَدِهِ
وَسَمَّى وَكَبَّرَ وَوَضَعَ رِجْلَهُ عَلَى صِفَاحِهِمَا.
“Nabi shallallâhu
‘alaihi wa sallam berqurban dengan dua kambing jantan yang amlah[2].
Beliau menyembelih kedua (kambing) tersebut dengan tangan beliau. Beliau
membaca basmalah dan bertakbir serta meletakkan kaki beliau di atas badan kedua
(kambing) itu.” [3]
Adapun berdasarkan penetapan (persetujuan)
beliau, hal tersebut bisa dipahami dari hadits Jundub bin Sufyah Al-Bajaly
radhiyallâhu ‘anhu bahwa beliau berkata, “Saya menyaksikan ‘Idul Adha bersama
Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam. Tatkala menyelesaikan shalat bersama
manusia, beliau melihat seekor kambing yang telah disembelih. Lalu, beliau
bersabda,
مَنْ
ذَبَحَ قَبْلَ الصَّلاَةِ فَلْيَذْبَحْ شَاةً مَكَانَهَا وَمَنْ لَمْ يَكُنْ
ذَبَحَ فَلْيَذْبَحْ عَلَى اسْمِ اللَّهِ.
“Barangsiapa yang
menyembelih sebelum pelaksanaan shalat (‘Id), hendaknya ia menyembelih kambing
(lain) sebagai pengganti, dan barangsiapa yang belum menyembelih, hendaknya dia
menyembelih dengan (menyebut) nama Allah.” [4]
Hikmah Ibadah Qurban
1.
Menegakkan peribadahan kepada Allah ‘Azza wa Jalla.
Allah Subhânahû wa Ta’âlâ menjelaskan ibadah
qurban sebagai salah satu bentuk penegakan perintah dan penyerahan diri
kepada-Nya sebagaimana dalam firman-Nya,
قُلْ إِنَّ
صَلَاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ. لَا
شَرِيكَ لَهُ وَبِذَلِكَ أُمِرْتُ وَأَنَا أَوَّلُ الْمُسْلِمِينَ
“Katakanlah,
‘Sesungguhnya shalatku, sembelihanku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk Allah,
Rabb semesta alam. Tiada sekutu bagi-Nya, demikian itulah yang diperintahkan
kepadaku, dan saya adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada
Allah).’.” [Al-An’âm: 162-163]
Allah Subhânahû wa Ta’âlâ juga menjelaskan bahwa
berqurban adalah ibadah yang agung bila disertai dengan takwa dan keikhlasan
sebagaimana firman Allah ‘Azza wa Jalla,
لَنْ
يَنَالَ اللَّهَ لُحُومُهَا وَلَا دِمَاؤُهَا وَلَكِنْ يَنَالُهُ التَّقْوَى
مِنْكُمْ
“Daging-daging dan
darah (unta) itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi
ketakwaan dari kalianlah yang dapat mencapainya.” [Al-Hajj: 37]
2. Sebagai lambang kesyukuran seorang hamba
terhadap nikmat Allah Subhânahû wa Ta’âlâ.
Allah Subhânahû wa Ta’âlâ berfirman,
فَكُلُوا
مِنْهَا وَأَطْعِمُوا الْقَانِعَ وَالْمُعْتَرَّ كَذَلِكَ سَخَّرْنَاهَا لَكُمْ
لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
“Maka makanlah
sebagiannya dan beri makanlah orang yang rela dengan sesuatu yang ada padanya
(yang tidak meminta-minta) dan orang yang meminta. Demikianlah Kami telah
menundukkan unta-unta itu kepada kalian, mudah-mudahan kalian bersyukur.”
[Al-Hajj: 36]
3. Menghidupkan sunnah Nabi Ibrahim ‘alaihis
salâm.
Allah
‘Azza wa Jalla berfirman,
فَلَمَّا
بَلَغَ مَعَهُ السَّعْيَ قَالَ يَا بُنَيَّ إِنِّي أَرَى فِي الْمَنَامِ أَنِّي
أَذْبَحُكَ فَانْظُرْ مَاذَا تَرَى قَالَ يَا أَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُ
سَتَجِدُنِي إِنْ شَاءَ اللَّهُ مِنَ الصَّابِرِينَ. فَلَمَّا أَسْلَمَا وَتَلَّهُ
لِلْجَبِينِ. وَنَادَيْنَاهُ أَنْ يَا إِبْرَاهِيمُ. قَدْ صَدَّقْتَ الرُّؤْيَا
إِنَّا كَذَلِكَ نَجْزِي الْمُحْسِنِينَ. إِنَّ هَذَا لَهُوَ الْبَلَاءُ
الْمُبِينُ. وَفَدَيْنَاهُ بِذِبْحٍ عَظِيمٍ
“Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha
bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata, ‘Wahai anakku, sesungguhnya saya melihat
dalam mimpi bahwa saya menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa pendapatmu!’
(Anaknya) menjawab, ‘Wahai ayahku, kerjakanlah sesuatu yang diperintahkan
kepadamu. Insya Allah, engkau akan mendapatiku termasuk ke dalam golongan
orang-orang yang sabar.’ Tatkala keduanya telah berserah diri dan (Ibrahim)
membaringkan (anak)nya di atas pelipis(nya), (nyatalah kesabaran keduanya). Dan
Kami panggillah dia, ‘Wahai Ibrahim, sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi
itu. Sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang
berbuat baik. Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata. Dan Kami
menebus (anak itu) dengan seekor sembelihan yang besar.” [Ash-Shaffât: 102-107]
Catatan
Kaki :
[1]Diriwayatkan oleh Al-Bukhâry dan Muslim dari Al-Barâ`
bin Azib radhiyallâhu ‘anhumâ dan Anas bin Malik radhiyallâhu ‘anhu.
[2]Kambing amlah adalah kambing yang berbulu putih dan
hitam, tetapi bulu putihnya lebih mendominasi. Demikian keterangan Al-Kisâ’iy.
Adapun menurut Ibnul ‘Araby, itu adalah kambing yang bersih nan putih. Demikian
nukilan Ibnu Qudamah dalam Al-Mughny.
[3]Diriwayatkan oleh Al-Bukhâry dan Muslim.
[4]Diriwayatkan oleh Al-Bukhâry, Muslim, dan An-Nasâ`iy.
Setelah mengetahui keutamaan yang terdapat pada sepuluh hari pertama di bulan
Dzulhijjah, berikut ini berbagai macam ibadah yang
disyariatkan untuk dikerjakan pada sepuluh hari pertama di bulan Dzulhijjah
tersebut :
1. Haji dan Umroh
Haji dan Umroh merupakan dua ibadah yang paling
utama untuk dikerjakan, banyak hadits Nabi Shollallahu 'alaihi wasallam yang
menunjukkan keutamaannya. Diantaranya adalah sabda Nabi Shollallahu 'alaihi wasallam :
الْعُمْرَةُ
إِلَى الْعُمْرَةِ كَفَّارَةٌ لِمَا بَيْنَهُمَا، وَالْحَجُّ الْمَبْرُورُ لَيْسَ
لَهُ جَزَاءٌ إِلاَّ الْجَنَّةُ
Umroh ke umroh
berikutnya adalah penghapus dosa yang ada diantara keduanya, dan Haji Mabrur
tidak ada balasannya kecuali syurga. [HR. Buhkori dan Muslim dari Abu Huroirah
Radhiallohu 'anhu]
2.
Puasa
Puasa bisa dilakukan mulai tanggal 1 Dzulhijjah
sampai tanggal 9 Dzulhijjah, Puasa juga merupakan ibadah yang utama karena
Allah pilih khusus untuk diri-Nya sebagaimana dalam hadits Qudsi, Allah
Subhanahu wata'ala berfirman :
الصَّوْمُ
لِى وَأَنَا أَجْزِى بِهِ يَدَعُ شَهْوَتَهُ وَأَكْلَهُ وَشُرْبَهُ مِنْ أَجْلِى
Puasa itu untuk-Ku,
Aku akan (langsung) memberikan balasannya terhadap puasa tersebut, karena (dia
orang yang berpuasa) meninggalkan syahwatnya serta makan dan minumnya karena
Aku. [HR. Bukhori dari Abu Huroirah Radhiallohu 'anhu]
Dalam hadits yang lain dari Abu Sa'id Al Khudry,
Rasulullah Shollallahu 'alaihi wasallam bersabda :
مَا
مِنْ عَبْدٍ يَصُومُ يَوْماً في سَبِيلِ اللهِ إِلاَّ بَاعَدَ اللهُ بِذَلِكَ
اليَوْمِ وَجْهَهُ عَنِ النَّارِ سَبْعِينَ خَرِيفَاً
Tidak ada seorang
hamba-pun yang berpuasa satu hari dijalan Allah, kecuali Allah jauhkan wajahnya
dari neraka karena puasanya pada hari tersebut sejauh tujuh puluh tahun.
[Muttafaq alaih]
Puasa yang sebaiknya tidak ditinggalkan adalah
puasa pada hari Arafah. Imam Muslim Rahimahullah telah meriwayatkan sebuah
hadits dari Abu Qotadah radhiallahu 'anhu, bahwa Nabi Shollallahu 'alaihi
wasallam bersabda :
صيام
يوم عرفة أحتسب على الله أن يكفر السنة التي قبله والتي بعده
Puasa Arafah, Aku
berharap kepada Allah Subhanahu wata'ala agar menghapus dosa setahun sebelumnya
dan setahun setelahnya.
Dalam sebuah hadits disebutkan bahwa sebagian
Istri Nabi berkata :
{
كان رسول الله يصوم تسع ذي الحجة، ويوم عاشوراء، وثلاثة أيام من كل شهر } [رواه
الإمام أحمد وأبو داود والنسائي]
Adalah Rasulullah
Shollallahu 'alaihi wasallam berpuasa pada tanggal sembilan dzulhijjah, dan berpuasa
pada hari Asy Syuro, serta berpuasa tiga hari pada setiap bulan. [HR. Ahmad,
Abu Daud dan An Nasa'i]
3.
Takbir dan Dzikir
Berdasarkan Firman Allah Subhanahu wata'ala :
{وَيَذْكُرُوا
اسْمَ اللَّهِ فِي أَيَّامٍ مَعْلُومَاتٍ} [الحج: 28]
dan supaya mereka
berdzikir menyebut nama Allah pada hari yang telah ditentukan [Al Hajj (22):28]
Maksud "pada hari yang telah
ditentukan" dalam ayat diatas adalah sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah
sebagaimana penafsiran para Ulama.
Para Ulama juga menganjurkan untuk memperbanyak
takbir dan dzikir pada hari-hari tersebut berdasarkan hadits dari Ibnu Umar
radhiallohu 'anhuma yang diriwayatkan Imam Ahmad Rahimahullah, disebutkan dalan
hadits tersebut :
فأكثروا
فيهن من التهليل والتكبير والتحميد
Perbanyaklah pada
hari-hari tersebut berupa Tahlil, Takbir dan Tahmid.
4. Taubat serta Menjauhi
Maksiat dan Dosa
Dengan taubat serta menjauhi maksiat dan dosa
diharapkan seluruh amal ibadah yang dikerjakan mendapatkan balasan berupa
ampunan dan rahmat Allah Subhanahu wata'ala, karena maksiat merupakan sebab
jauh dan tersingkirnya seseorang dari Allah Subhanu wata'ala. Rasulullah
Shollallahu 'alaihi wasallam bersabda :
ان الله يغار وغيرة الله أن يأتي المرء
ما حرم الله عليه
Sesungguhnya Allah
itu cemburu, dan kecemburuan Allah itu pada seseorang yang mengerjakan apa yang
Allah telah haramkan atasnya. [Muttafaq alaih]
5.
Membiarkan Rambut dan Kuku
Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan
Imam Muslim dan Imam-Imam lainnya Rahimahumullah, dari Ummu Salamah Radhiallohu
'anha, bahwasanya Nabi Shollallahu 'alaihi wasallam bersabda :
إذا رأيتم هلال ذي الحجة وأراد أحدكم أن
يضّحي فليمسك عن شعره وأظفاره
Apabila kalian
telah mendapati hilal (hari pertama) Dzulhijjah sementara seseorang diantara
kalian ingin menyembelih qurban, maka hendaknya dia menahan (membiarkan) rambut
dan kukunya.
Dalam riwayat yang lain disebutkan :
فلا
يأخذ من شعره ولا من أظفاره حتى يضحي
Maka hendaknya dia tidak
mengambil (mencukur/memotong) rambut dan kukunya sampai dia menyembelih
(Qurbannya).
Barangkali hal ini serupa dengan orang yang
menggiring qurban dalam firman Allah Subhanahu wata'ala :
{وَلَا
تَحْلِقُوا رُءُوسَكُمْ حَتَّى يَبْلُغَ الْهَدْيُ مَحِلَّهُ} [البقرة: 196]
dan jangan kamu
mencukur kepalamu, sebelum korban sampai di tempat penyembelihannya. [Al
baqoroh (2):196]
6.
Shalat
Shalat merupakan ibadah pendekatan diri kepada
Allah yang juga utama dan mulia, sebagaimana secara umum disebutkan dalam
hadits Tsauban Radhiallohu 'anhu bahwa beliau mendengar Rasulullah Shollallahu
'alaihi wasallam bersabda :
{
عليك بكثرة السجود لله فإنك لا تسجد سجدة إلا رفعك إليه بها درجة، وحط عنك بها
خطيئه } [رواه مسلم]
Hendaknya engkau
memperbanyak sujud (sholat) ikhlas kepada Allah, karena sesungguhnya tidaklah
engkau melakukan sekali sujud, kecuali Allah mengangkatmu satu derajat
kepadanya karena sujud yang engkau lakukan tersebut, dan dia menghapus satu
kesalahan darimu karena sujud yang engkau lakukan tersebut. [HR Muslim]
Selain melaksanakan shalat secara umum,
hendaknya seorang muslim bersungguh-sungguh dan bersemangat untuk menunaikan
shalat hari raya, dimanapun dia berada, menghadirkan hati ketika mendengar
khotbah dan mengambil hikmah dan faidah darinya.
6.
Menyembelih Qurban
Hal ini berdasarkan perintah Allah Subhanahu
wata'ala dalam firman-Nya :
فَصَلِّ لِرَبِّكَ
وَانْحَرْ [الكوثر:2]
Maka dirikanlah
salat karena Tuhanmu dan berkorbanlah. [Al Kautsar (108):2]
Dalam ayat lain Allah subhanahu wata'ala
mengisyaratkan tentang ibadah qurban ini dalam firman-Nya :
وَالْبُدْنَ
جَعَلْنَاهَا لَكُم مِّن شَعَائِرِ اللَّهِ [الحج:36]
Dan telah Kami
jadikan untuk kamu unta-unta itu sebahagian dari syiar Allah. [Al Hajj (22):36]
7.
Sedekah
Sangat dianjurkan di dalam hari-hari di bulan
dzulhijjah ini untuk bersedekah, terutama bagi yang menyembelih hewan qurban
agar menikmati hewan qurbannya dan menyedekahkan sebahagiannya, sebagaimana
dalam Firman Allah subhanahu wata'ala :
فَكُلُوا
مِنْهَا وَأَطْعِمُوا الْبَائِسَ الْفَقِيرَ [الحج:28]
Maka makanlah
sebahagian daripadanya dan (sebahagian lagi) berikanlah untuk dimakan
orang-orang yang sengsara lagi fakir.[Al Hajj (22):28]
Bahkan bukan hanya bersedekah kepada orang-orang
fakir miskin yang memang membutuhkan bantuan dan uluran tangan, tapi juga
memberi hadiah kepada orang-orang yang berkecukupan, merasa cukup atau Qona'ah
dengan rezki yang Allah berikan, sebagaimana dalam Firman Allah Subhanahu
wata'ala :
فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا
الْقَانِعَ وَالْمُعْتَرَّ [الحج:36]
maka makanlah
sebagiannya dan beri makanlah orang yang rela dengan apa yang ada padanya (yang
tidak meminta-minta) dan orang yang meminta. [Al Hajj (22):36]
Demikianlah beberapa amal sholeh yang hendaknya
dikerjakan di bulan Dzulhijjah, dimana dengan terkumpulnya Amal Ibadah tersebut
dalam satu waktu merupakan salah satu keistimewaan bulan dzulhijjah, sebagaimana
perkataan Ibnu Hajar dalam Kitabnya Fat-hul Bary :
والذي يظهر أن السبب في امتياز عشر ذي
الحجة لمكان اجتماع أمهات العبادة فيه، وهي الصلاة والصيام والصدقة والحج، ولا
يأتي ذلك في غيره.
Dan yang sangat jelas menunjukkan keistimewaan sepuluh hari pertama
bulan dzulhijjah adalah; karena menjadi tempat berkumpulnya ibadah-ibadah pokok
pada hari-hari tersebut, yaitu Sholat, Puasa, Sedekah dan haji, dan tidak
mungkin dilaksanakan ibadah-ibadah tersebut di bulan yang lain.
Di dalam Al Qur’an,
Allah ta’ala berfirman,
وَالْفَجْرِ
* وَلَيَالٍ عَشْرٍ
“Demi waktu fajar dan
demi malam yang kesepuluh.” (Al-Fajr : 1-2)
Al Imam Ibnu Katsir berkata,
“Malam-malam yang kesepuluh maksudnya adalah
sepuluh Dzulhijjah. Ini adalah pendapat Ibnu Abbas, Ibnu Azzubair, Mujahid, dan
banyak dari ulama salaf dan khalaf.”
Setelah menyebutkan sejumlah ucapan ulama tafsir
tentang ayat di atas, seorang mufassir ternama, lbnu Jarir rahimahullâh, dalam
Tafsir-nya, menyimpulkan bahwa “malam yang sepuluh” tersebut adalah malam sepuluh
Dzulhijjah berdasarkan kesepakatan para ulama tafsir tentang hal tersebut.
[Jâmi’ul Bayân 12/559]
Allah ‘azza wajalla juga berfirman,
لِيَشْهَدُوا
مَنَافِعَ لَهُمْ وَيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ فِي أَيَّامٍ مَعْلُومَاتٍ عَلَى مَا
رَزَقَهُمْ مِنْ بَهِيمَةِ الْأَنْعَامِ فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا الْبَائِسَ
الْفَقِيرَ
“Supaya mereka
menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka dan supaya mereka menyebut nama Allah
pada hari yang telah ditentukan atas rezki yang Allah telah berikan kepada
mereka berupa binatang ternak. Maka makanlah sebagian daripadanya dan (sebagian
lagi) berikanlah untuk dimakan bagi orang-orang yang sengsara lagi fakir.”
(Al-Hajj : 28)
Al Imam Ibnu Katsir mengatakan di dalam tafsir
beliau tentang ayat ini,
“Ibnu Abbas mengatakan bahwa hari-hari yang
ditentukan di sini maknanya adalah hari yang sepuluh (pada awal bulan
dzulhijjah). Diriwayatkan pula yang semisalnya dari Abu Musa Al Asy’ari,
Mujahid, Atha’, Said bin Jubair, Al Hasan, Qatadah, Adh Dhahhak, Atha’ Al
Khurasani serta Ibrahim An Nakha’i. Demikian pula madzhab Asy Syafi’i dan yang
masyhur dari Imam Ahmad bin Hanbal.”
Berdasarkan keterangan-keterangan dari dua ayat
di atas, bisa disimpulkan bahwa sepuluh hari Dzulhijjah merupakan hari-hari
yang memiliki fadhilah yang sangat besar bagi kaum muslimin.
Selain itu, bila kita memperhatikan berbagai
ibadah yang disyariatkan pada sepuluh hari Dzulhijjah ini, akan tampak dengan
jelas berbagai keistimewaan sepuluh hari tersebut. Al-Hafizh Ibnu Hajar
rahimahullâh berkata, “Yang tampak adalah bahwa keistimewaan sepuluh hari
Dzulhijjah adalah karena (hari-hari itu merupakan) tempat berkumpulnya
pokok-pokok ibadah, yaitu shalat, puasa, shadaqah dan haji, yang hal tersebut
tidaklah terjadi pada (hari-hari) lain.” [Fathul Bâry 2/460]
Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam juga
telah menjelaskan keutamaan sepuluh hari pertama Dzulhijjah. Hal tersebut
dijelaskan oleh Ibnu ‘Abbâs radhiyallâhu ‘anhumâ bahwa Nabi shallallâhu ‘alaihi
wa sallam bersabda,
((
مَا مِنْ أيَّامٍ ، العَمَلُ الصَّالِحُ فِيهَا أحَبُّ إِلَى اللهِ مِنْ هذِهِ
الأَيَّام )) يعني أيام العشر . قالوا : يَا رسولَ اللهِ ، وَلاَ الجِهَادُ في
سَبيلِ اللهِ ؟ قَالَ : (( وَلاَ الجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللهِ ، إِلاَّ رَجُلٌ
خَرَجَ بِنَفْسِهِ وَمَالِهِ ، فَلَمْ يَرْجِعْ مِنْ ذَلِكَ بِشَيءٍ ))
“Tiada hari yang
amalan shalih padanya lebih Allah cintai daripada amalan di hari-hari ini.
Yaitu sepuluh hari (di bulan Dzulhijjah). Para sahabat berkata, “Ya Rasulullah,
tidak pula jihad di jalan Allah?” Beliau menjawab, “Tidak pula jihad di jalan
Allah, kecuali seseorang yang keluar berjihad dengan jiwa dan hartanya yang
kemudian tidak kembali dari hal itu sedikit pun.” (HR. Al Bukhari)
Juga menunjukkan akan keutamaan sepuluh hari
pertama dzulhijjah karena Di dalamnya ada hari Arafah. Hari Arafah adalah
adalah hari Haji Akbar, hari diampuninya dosa dan pembebasan dari api neraka,
jika tidak ada di sepuluh pertama bulan Dzulhijjah kecuali hari Arafah maka hal
itu sudah cukup sebagai satu keutamaan.
Hal ini sebagaimana yang disabdakan oleh Nabi
shallallâhu ‘alaihi wa sallam ketika ditanya tentang puasa hari Arafah, beliau
shallallâhu ‘alaihi wa sallam menjawab:
يُكَفِّرُ
السَّنَةَ الْـمَاضِيَةَ وَالْبَاقِيَةَ
“(Puasa Arafah)
menghapus dosa-dosa setahun yang lalu dan yang akan datang.” (HR. Muslim)
Dalam hadits yang lain beliau shallallâhu
‘alaihi wa sallam bersabda :
مَا
مِنْ يَوْمٍ أَكْثَرَ مِنْ أَنْ يُعْتِقَ اللهُ فِيْهِ عَبْدًا مِنَ النَّارِ مِنْ
يَوْمِ عَرَفَةَ
“Tidak ada hari yang
Allah membebaskan hamba-hamba dari api neraka, lebih banyak daripada di hari
Arafah.” (HR. Muslim)
Selain itu di dalam sepuluh hari pertama
dzulhijjah ada hari Nahr (tanggal 10 Dzulhijjah). Hari itu merupakan hari yang
paling utama di dunia menurut pendapat sebagian para ulama Rasulullah bersabda :
أَعْظَمُ
الْأَياَّمِ عِنْدَ اللهِ يَوْمُ النَّحْرِ، ثُمَّ يَوْمُ الْقَرِّ [رواه أبو داود
والنسائي وصححه الألباني]
“Hari yang paling utama di dunia adalah hari Nahr kemudian
hari Qorr.” [HR. Abu Daud dan Nasa’i dan dishahihkan oleh Syaikh Al Bani]
Demikianlan beberapa keterangan yang menjelaskan
dan membuktikan akan keutamaan sepuluh hari pertama di bulan Dzulhijjah, semoga
Allah subhanahu wata'ala senantiasa memberikan taufiq dan hidayah-Nya untuk
dapat meraih keutamaan pada hari-hari tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar